Rusa di Kepulauan
Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, karena
kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi
kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang
berhasil dikalahkan harus menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa.
Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah banyak wilayah di
Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka
membuat rusa semakin merasa berkuasa. Mereka mengganggap diri mereka
bangsa penguasa pulau.
Di
tempat lain, di tepian Pulau Aru, terdapat sebuah pantai yang sangat
indah. Deburan ombak yang lembur, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan
pasir yang hangat membuat siapa pun yang berada di sana
merasa nyaman. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan
yang cerdik dan sabar. Mereka hidup bersama dan saling tolong-menolong.
Mereka sadar akan kelemahan tubuh mereka. Tapi, mereka percaya bahwa
kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada
suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk
bertanding. Selain ingin menguasai keindahan pantai, rusa ingin
memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat yakiin
dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang yang
terkenal paling lambat berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat
bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang ukurannya
melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya
untuk memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa,
siput adalah binatang yang terkenal dengan kecerdikannya.
Hari
pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan
pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa
sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap
pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temannya
membalas setiap perkataan rusa. Jalur yang akan mereka pakai, melewati
11 tempat peristirahatan termasuk tempat dimulainya pertandingan. Dia
sendiri akan berada di garis start bersama rusa sombong.
“Sudah siap menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan congkaknya.
“Siapa takut?!” ujar siput pendek.
Pertandingan
pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput. Sementara
siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam kemudian,
rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Napasnya naik turun
dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa
bergumam.
“Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi…?”
“Sampai di belakangmu,” jawab teman siput yang sudah bersiaga di semak-semak.
Rusa
kaget siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya rusa, ia
langsung melonjak dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa
lelah yang dirasakannya. Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia
tidak berhenti di pos kedua. Di pos ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti
sebentar untuk mengatur napasnya.
“Sekarang, tidak mungkin siput mampu mengejarku!” kata rusa disela engahnya.
“Mengapa berpikir begitu?” ujar teman siput yang lain santai, membalas ucapan rusa.
Tanpa berpikir panjang, rusa berlari lagi.
“Tidak
ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata rusa yang lain kalau aku
mempermalukan bangsa sendiri?!” kata rusa pada dirinya sendiri.
Rusa
terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia
memastikan keberadaan si siput. Tentu saja teman siput siap menjawab
segala perkataan rusa. Memasuki pos ke 11, rusa sudah kehabisan napas.
Saking lelahnya, rusa jatuh tersungkur dan mati. Semua binatang yang
pernah diremehkan rusa bersorak-sorak. Akhirnya, siput berhasil
mengalahkan rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.
Cerita Rakyat - Asal Mula Telaga Biru
Berikut ini adalah sebuah
cerita rakyat indonesia dari maluku utara,.. semoga bisa memberikan pesan moral kepada pembaca..
Asal Mula Telaga Biru
Dibelahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa,
di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya
terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak
gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara
bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian
membentuk sebuah telaga.Airnya bening kebiruan dan berada di bawah
rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka
bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah
pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang
membuat fenomena ini terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga
pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air.
Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk.
Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu.
Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh
leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah
yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual
adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago
kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah
hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir
menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan
sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka
bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan
disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening.
Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.
Tetua
adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak
hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling
memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya.
Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga
yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak
itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni
Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka
bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi
dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah
dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa
kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru
mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri
orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.
Majojaru
dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk
pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati.
Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan
dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih
baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak
kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai
rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang
tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di
dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas
dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar
bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati
seolah menjadi bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat
tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari
menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin
sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung
bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir
hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di
bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya
sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan
warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun
berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang
mereka namakan Telaga Biru.