Makanan Khas Kami.. ^_^
Agak sulit untuk menemukan makanan yang benar-benar khas Ternate. Karena letak geografisnya yang lebih dekat ke Sulawesi Utara, sudah barang tentu makanan Ternate banyak dipengaruhi – dan sekaligus juga memengaruhi – makanan khas Sulawesi Utara. Tetapi, karena Ternate merupakan gugus kepulauan Maluku Utara, maka tentulah pula makanan khas Maluku mudah dijumpai di Ternate.
Salah satu masakan khas Ternate adalah gohu ikan.
Gohu Ikan
Penyebutannya harus lengkap: gohu ikan. Soalnya, kalau hanya disebut gohu, maka artinya adalah rujak pepaya muda yang juga populer di Sulawesi Utara. Gohu ikan khas Ternate dibuat dari ikan tuna mentah. Tidak heran bila banyak orang menyebutnya sebagai sashimi Ternate.
Ternyata, di daerah pesisir Sulawesi Utara – misalnya di Bitung – dapat pula dijumpai sajian seperti ini. Namanya hanya dibalik: ikan gohu. Barangkali kesegaran sajian inilah yang membuatnya menyandang nama gohu yang berarti rujak.
Umumnya, di Ternate, gohu ikan dibuat dari ikan tuna (yellowfin tuna = Thunnus albacares). Bila tuna sedang tidak musim, ikan cakalang (skipjack) juga dapat dipakai – sekalipun teksturnya tidak semulus tuna.
Daging tuna segar (baca: mentah!) dipotong kecil-kecil, dicuci, kemudian dilumuri dengan garam dan perasan lemon cui (semacam jeruk nipis yang harum dan dalamnya berwarna kuning-jingga), kemudian dicampur dengan rajangan kasar daun balakama (kemangi). Bawang merah dan cabe rawit (disebut rica gufu di Ternate) dirajang kasar, lalu ditumis dengan sedikit minyak kelapa. Minyak kelapa panas dengan bawang merah dan cabe rawit ini kemudian dituangkan ke potongan ikan tuna mentah. Kemudian ditaburi kacang tanah goreng yang ditumbuk kasar.
Sudah terbayang rasanya? hmm ueennaakk..
Kalau Anda pernah ke Hawaii, kemungkinan besar Anda pernah ketemu sajian seperti ini. Bedanya, di sana tidak memakai cabe rawit maupun kacang tanah goreng. Di Hawaii kemanginya diganti dengan wakame alias rumput laut. Sajian ini terkenal di Hawaii dengan nama onopoke.
Saya juga pernah menemukan sajian yang sangat mirip dengan gohu ikan ini – minus cabe rawit – di General Santos City, Filipina Selatan. Di sana, sajian populer ini disebut kinilauw. Rupanya, masakan seperti gohu ikan Ternate ini telah menjadi ciri khas atau tradisi masyarakat-masyarakat kepulauan. Kinilauw hanya memakai tuna yang dipotong kubus, dilumuri dengan garam, dicampur dengan rajangan kasar bawang merah dan tomat, lalu dikucuri perasan jeruk nipis.
Gatang Kenari
Bicara tentang kuliner Ternate, kebanyakan orang akan langsung menyebut gatang kanari (ketam kenari = kepiting kenari). Di masa lalu, saya pernah mencicipi kepiting yang penampilannya mirip satwa purba ini. Sekarang, kepiting kenari sudah dicantumkan sebagai satwa yang dilindungi. Anehnya, masih terjadi ambiguitas untuk menegakkan aturan ini. Konon, demi pariwisata, beberapa restoran di Ternate mendapat izin khusus untuk menyajikan masakan dari kepiting kenari.
Herannya pula, ada dua Presiden Republik Indonesia (namanya saya catat untuk kepentingan pribadi!) yang sangat menyukai kepiting kenari. Para pejabat Pemerintah setempat pun dikabarkan sering membawa oleh-oleh kepiting kenari untuk atasan mereka di Jakarta – seolah-olah peraturan tentang kelestarian lingkungan tidak berlaku bagi para pejabat.
Harga kepiting kenari ini cukup mahal. Yang berukuran super (sekitar 2 kilogram bobot hidup), dihargai sekitar Rp 350 ribu. Bagi orang kaya, harga sedemikian tidak ada artinya. Maklum, satu kilo daging Wagyu harganya sekitar Rp 700 ribu. Artinya, harga kepiting kenari yang sedemikian “murah” tidak akan menyelamatkannya dari kepunahan.
Beberapa restoran sering menyatakan bahwa mereka menyediakan kepiting kenari hasil budidaya. Ini adalah cerita bohong. Kepiting kenari sulit ditangkar. Kini, kebanyakan kepiting kenari ditangkap di alam di Halmahera, lalu dijual ke beberapa restoran khusus di Ternate.
Kepiting kenari adalah satwa darat yang pintar memetik dan mengupas buah kelapa, serta menjadikannya makanan kegemaran mereka. Karena itulah kepiting kenari dianggap lebih gurih dan manis dagingnya dibanding kepiting biasa.
Tolong, janganlah percaya pada mitos ini. Seingat saya – berdasarkan pengalaman menyantapnya puluhan tahun yang lalu ketika satwa ini masih legal – teksturnya keras, dan rasanya agak sepa. Bagi saya, kepiting Tarakan yang beratnya sekitar satu kilogram jauh lebih manis dan teksturnya mulus. Harganya pun tentu lebih murah.
Ketika singgah ke Ternate kemarin, saya sempat dijamu oleh satu keluarga yang sedang melangsungkan perhelatan pernikahan. Dalam jamuan makan siang, saya melihat lontong panjang-panjang dan nasi kuning disediakan di meja makan. Lauknya adalah ikan komo (tongkol) bakar dengan berbagai saus, antara lain: saus acar, saus kecap, dan saus kacang tanah. Sayur kesukaan orang Ternate adalah fofoki alias terong. Terong dibakar atau digoreng, dibelah dua, dan kemudian diberi topping sambal santan.
Tumis kangkung dan bunga pepaya yang populer di Sulawesi Utara juga umum disajikan di Ternate. Ada pula ulak-ulak yang sangat mirip dengan karedok di Tatar Sunda. Ulak-ulak memakai kol, kacang panjang, timun, bawang merah, cabe rawit – semuanya mentah dan dirajang halus, kemudian disiram dengan saus kacang tanah dan perasan lemon cui. Tidak ada rasa kencur seperti umumnya karedok Sunda. Tetapi, rasa bawang merahnya yang generous memberi rasa asam-pedas cantik.
Pada perhelatan itu, saya sangat terkesan pada boboto ikan. Di Jawa, namanya hampir mirip, yaitu bothok. Di Ternate, boboto bisa dibuat dari ikan segar maupun ikan asap, serta juga dapat dibuat dari daging ayam. Ikan atau ayam dicincang halus dengan campuran kenari (sebagian diulek halus, sebagian dirajang kasar), dibungkus daun pisang, lalu dikukus. Rasa kenarinya sungguh membuat sajian ini tidak dapat terlupakan.
Hampir semua masakan Ternate melibatkan kenari – baik sebagai bumbu ulek, maupun dirajang kasar. Maklum, Maluku Utara adalah penghasil kenari penting. Ikan kuah asam pidis (pedas!) juga memakai rajangan kenari. Ada pula minuman yang populer dengan nama air guraka (air jahe) dengan taburan kenari rajang di atasnya. Taburan kenari pada air guraka ini mengingatkan saya pada tradisi Prancis yang menaburkan sangraian pine-nuts pada teh panas. Kenari memberi tambahan citarasa gurih, di samping juga mengayakan tekstur masakan maupun minuman.
Pupeda
Orang Ternate mempunyai tradisi makan besar setelah usai shalat Jumat. Biasanya, dari masjid orang bergegas pulang untuk berkumpul makan siang bersama keluarga. Sebagian lagi beramai-ramai mendatangi warung-warung makan bersama teman-teman.
Salah satu tradisi makan siang di hari Jumat adalah makan pupeda (di Maluku dan Papua disebut papeda) – yaitu sagu yang dimasak dengan air, bentuknya mirip seperti lem kanji. Pupeda umumnya disantap dengan ikan kuah soru. Yang dimasak untuk kuah soru biasanya adalah ikan asar (diasap dengan api gonofu alias sabut kelapa). Soru berarti asam. Kuahnya bening, dengan tone asam-pedas, serta aroma smokey dari ikan asar. Hmm, mengesankan.
Di belakang Pasar Gamalama, ada beberapa warung pupeda yang populer bagi warga Ternate. Di warung-warung itu, selain kuah soru, juga tersedia berbagai lauk-pauk yang disediakan di meja. Begitu juga pupeda dan kasbi (singkong rebus), ubi rebus, dan pisang rebus – semuanya disediakan di meja. Para tamu makan buffet style, dan membayar Rp 25 ribu per mulut -- sekenyangnya.
Pupeda dimakan dengan kuah soru. Sedangkan karbohidrat yang lain disantap dengan sayur lilin (sayur yang di Jakarta dikenal sebagai telur terubuk), ikan bakar, fofoki kuah santan, sayur garo (tumis kangkung dan bunga pepaya), dan lain-lain.
Agak sulit untuk menemukan makanan yang benar-benar khas Ternate. Karena letak geografisnya yang lebih dekat ke Sulawesi Utara, sudah barang tentu makanan Ternate banyak dipengaruhi – dan sekaligus juga memengaruhi – makanan khas Sulawesi Utara. Tetapi, karena Ternate merupakan gugus kepulauan Maluku Utara, maka tentulah pula makanan khas Maluku mudah dijumpai di Ternate.
Hampir semua masakan Ternate melibatkan kenari, baik sebagai bumbu ulek, maupun dirajang kasar.
Gohu Ikan
Penyebutannya harus lengkap: gohu ikan. Soalnya, kalau hanya disebut gohu, maka artinya adalah rujak pepaya muda yang juga populer di Sulawesi Utara. Gohu ikan khas Ternate dibuat dari ikan tuna mentah. Tidak heran bila banyak orang menyebutnya sebagai sashimi Ternate.
Ternyata, di daerah pesisir Sulawesi Utara – misalnya di Bitung – dapat pula dijumpai sajian seperti ini. Namanya hanya dibalik: ikan gohu. Barangkali kesegaran sajian inilah yang membuatnya menyandang nama gohu yang berarti rujak.
Umumnya, di Ternate, gohu ikan dibuat dari ikan tuna (yellowfin tuna = Thunnus albacares). Bila tuna sedang tidak musim, ikan cakalang (skipjack) juga dapat dipakai – sekalipun teksturnya tidak semulus tuna.
Daging tuna segar (baca: mentah!) dipotong kecil-kecil, dicuci, kemudian dilumuri dengan garam dan perasan lemon cui (semacam jeruk nipis yang harum dan dalamnya berwarna kuning-jingga), kemudian dicampur dengan rajangan kasar daun balakama (kemangi). Bawang merah dan cabe rawit (disebut rica gufu di Ternate) dirajang kasar, lalu ditumis dengan sedikit minyak kelapa. Minyak kelapa panas dengan bawang merah dan cabe rawit ini kemudian dituangkan ke potongan ikan tuna mentah. Kemudian ditaburi kacang tanah goreng yang ditumbuk kasar.
Sudah terbayang rasanya? hmm ueennaakk..
Kalau Anda pernah ke Hawaii, kemungkinan besar Anda pernah ketemu sajian seperti ini. Bedanya, di sana tidak memakai cabe rawit maupun kacang tanah goreng. Di Hawaii kemanginya diganti dengan wakame alias rumput laut. Sajian ini terkenal di Hawaii dengan nama onopoke.
Saya juga pernah menemukan sajian yang sangat mirip dengan gohu ikan ini – minus cabe rawit – di General Santos City, Filipina Selatan. Di sana, sajian populer ini disebut kinilauw. Rupanya, masakan seperti gohu ikan Ternate ini telah menjadi ciri khas atau tradisi masyarakat-masyarakat kepulauan. Kinilauw hanya memakai tuna yang dipotong kubus, dilumuri dengan garam, dicampur dengan rajangan kasar bawang merah dan tomat, lalu dikucuri perasan jeruk nipis.
Gatang Kenari
Bicara tentang kuliner Ternate, kebanyakan orang akan langsung menyebut gatang kanari (ketam kenari = kepiting kenari). Di masa lalu, saya pernah mencicipi kepiting yang penampilannya mirip satwa purba ini. Sekarang, kepiting kenari sudah dicantumkan sebagai satwa yang dilindungi. Anehnya, masih terjadi ambiguitas untuk menegakkan aturan ini. Konon, demi pariwisata, beberapa restoran di Ternate mendapat izin khusus untuk menyajikan masakan dari kepiting kenari.
Herannya pula, ada dua Presiden Republik Indonesia (namanya saya catat untuk kepentingan pribadi!) yang sangat menyukai kepiting kenari. Para pejabat Pemerintah setempat pun dikabarkan sering membawa oleh-oleh kepiting kenari untuk atasan mereka di Jakarta – seolah-olah peraturan tentang kelestarian lingkungan tidak berlaku bagi para pejabat.
Harga kepiting kenari ini cukup mahal. Yang berukuran super (sekitar 2 kilogram bobot hidup), dihargai sekitar Rp 350 ribu. Bagi orang kaya, harga sedemikian tidak ada artinya. Maklum, satu kilo daging Wagyu harganya sekitar Rp 700 ribu. Artinya, harga kepiting kenari yang sedemikian “murah” tidak akan menyelamatkannya dari kepunahan.
Beberapa restoran sering menyatakan bahwa mereka menyediakan kepiting kenari hasil budidaya. Ini adalah cerita bohong. Kepiting kenari sulit ditangkar. Kini, kebanyakan kepiting kenari ditangkap di alam di Halmahera, lalu dijual ke beberapa restoran khusus di Ternate.
Kepiting kenari adalah satwa darat yang pintar memetik dan mengupas buah kelapa, serta menjadikannya makanan kegemaran mereka. Karena itulah kepiting kenari dianggap lebih gurih dan manis dagingnya dibanding kepiting biasa.
Tolong, janganlah percaya pada mitos ini. Seingat saya – berdasarkan pengalaman menyantapnya puluhan tahun yang lalu ketika satwa ini masih legal – teksturnya keras, dan rasanya agak sepa. Bagi saya, kepiting Tarakan yang beratnya sekitar satu kilogram jauh lebih manis dan teksturnya mulus. Harganya pun tentu lebih murah.
Ketika singgah ke Ternate kemarin, saya sempat dijamu oleh satu keluarga yang sedang melangsungkan perhelatan pernikahan. Dalam jamuan makan siang, saya melihat lontong panjang-panjang dan nasi kuning disediakan di meja makan. Lauknya adalah ikan komo (tongkol) bakar dengan berbagai saus, antara lain: saus acar, saus kecap, dan saus kacang tanah. Sayur kesukaan orang Ternate adalah fofoki alias terong. Terong dibakar atau digoreng, dibelah dua, dan kemudian diberi topping sambal santan.
Tumis kangkung dan bunga pepaya yang populer di Sulawesi Utara juga umum disajikan di Ternate. Ada pula ulak-ulak yang sangat mirip dengan karedok di Tatar Sunda. Ulak-ulak memakai kol, kacang panjang, timun, bawang merah, cabe rawit – semuanya mentah dan dirajang halus, kemudian disiram dengan saus kacang tanah dan perasan lemon cui. Tidak ada rasa kencur seperti umumnya karedok Sunda. Tetapi, rasa bawang merahnya yang generous memberi rasa asam-pedas cantik.
Pada perhelatan itu, saya sangat terkesan pada boboto ikan. Di Jawa, namanya hampir mirip, yaitu bothok. Di Ternate, boboto bisa dibuat dari ikan segar maupun ikan asap, serta juga dapat dibuat dari daging ayam. Ikan atau ayam dicincang halus dengan campuran kenari (sebagian diulek halus, sebagian dirajang kasar), dibungkus daun pisang, lalu dikukus. Rasa kenarinya sungguh membuat sajian ini tidak dapat terlupakan.
Hampir semua masakan Ternate melibatkan kenari – baik sebagai bumbu ulek, maupun dirajang kasar. Maklum, Maluku Utara adalah penghasil kenari penting. Ikan kuah asam pidis (pedas!) juga memakai rajangan kenari. Ada pula minuman yang populer dengan nama air guraka (air jahe) dengan taburan kenari rajang di atasnya. Taburan kenari pada air guraka ini mengingatkan saya pada tradisi Prancis yang menaburkan sangraian pine-nuts pada teh panas. Kenari memberi tambahan citarasa gurih, di samping juga mengayakan tekstur masakan maupun minuman.
Pupeda
Orang Ternate mempunyai tradisi makan besar setelah usai shalat Jumat. Biasanya, dari masjid orang bergegas pulang untuk berkumpul makan siang bersama keluarga. Sebagian lagi beramai-ramai mendatangi warung-warung makan bersama teman-teman.
Salah satu tradisi makan siang di hari Jumat adalah makan pupeda (di Maluku dan Papua disebut papeda) – yaitu sagu yang dimasak dengan air, bentuknya mirip seperti lem kanji. Pupeda umumnya disantap dengan ikan kuah soru. Yang dimasak untuk kuah soru biasanya adalah ikan asar (diasap dengan api gonofu alias sabut kelapa). Soru berarti asam. Kuahnya bening, dengan tone asam-pedas, serta aroma smokey dari ikan asar. Hmm, mengesankan.
Di belakang Pasar Gamalama, ada beberapa warung pupeda yang populer bagi warga Ternate. Di warung-warung itu, selain kuah soru, juga tersedia berbagai lauk-pauk yang disediakan di meja. Begitu juga pupeda dan kasbi (singkong rebus), ubi rebus, dan pisang rebus – semuanya disediakan di meja. Para tamu makan buffet style, dan membayar Rp 25 ribu per mulut -- sekenyangnya.
Pupeda dimakan dengan kuah soru. Sedangkan karbohidrat yang lain disantap dengan sayur lilin (sayur yang di Jakarta dikenal sebagai telur terubuk), ikan bakar, fofoki kuah santan, sayur garo (tumis kangkung dan bunga pepaya), dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar