Minggu, 21 April 2013

Jejak Sejarah Maluku Utara

Jejak - Jejak Sejarah Kami

 Pada zaman Pleistochen, daratan pulau Ternate masih merupakan satu daratan dengan pulau-pulau seperti; Morotai, Halmahera, Hiri, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan dan sebagainya yang terletak pada rankaian gunung berapi Zone Maluku Utara. Deretan pulau-pulau ini berada di sepanjang pantai barat pulau Halmahera di Propinsi Maluku Utara.
Perubahan alam yang terjadi selama ratusan-ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil di sepanjang “Jazirah tuil Jabal Mulku“, (Istilah yang sering dipergunakan oleh Buya Hamka). Halmahera adalah merupakan Pulau Induk dari di kawasan ini, yang menjadi dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah. (sumber; B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta).




Dilihat dari sudut geologis, seperti disinggung di atas, pulau Ternate merupakan salah satu dari deretan pulau yang memiliki gunung berapi, dari barisan garis : ”strato vulkano active at south pacific” yang melintang di kawasan Asia timur ke Asia tenggara, dari utara ke selatan. Salah satu yang masih aktif di kepulauan Maluku Utara adalah gunung “Gamalama” di pulau Ternate dengan ketinggian 1.730 m. (bangsa Portugis menyebut dengan; Nostra Senora del Rozario).
Erupsi dari letusan gunung berapi Gamalama yang paling hebat pernah terjadi pada tahun 1608, 1635, 1653, 1840 dan 1862. Letusan terhebat yang tercatat terjadi pada pertengahan abad ke-18, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1737 yang bertepatan dengan 22 Dzulkaidah 1149.H yang mengakibatkan aliran lahar dari puncak hingga mencapai laut yang dikenal sekarang dengan “Batu Angus”. (sumber; F.S.A. de Clerq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie van Ternate, Leiden, 1890).

Dalam jangka waktu kurang 400 tahun lebih (1538 – 1962) telah terjadi 1164 kali erupsi larva. Letusan yang mengakibatkan kepanikan dan dan pengungsian masyarakat Ternate moderen adalah pertama kali sejak tahun 1962, yaitu pada tanggal 4 September 1980 yang dialami sendiri oleh penulis yang ketika itu masih sebagai pelajar kelas 5 di salah satu Sekolah Dasar di pulau Ternate.


GENEALOGIS

Sebagaimana dipaparkan di atas, ada pendapat yang mengatakan bahwa pada zaman pleistochen, setelah dataran Morotai, Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Kayoa dan sebagainya terlepas dengan dataran Halmahera dan membentuk pulau-pulau kecil, sebagaimana adanya sekarang, maka telah terjadi pula migrasi penduduk pada zaman itu yang semula berdiam di dataran pedalaman ke kawasan pantai. Hal itu dilakukan untuk menghindari bencana alam yang diakibatkan oleh gerakan gunung berapi dan pergeseran kerak kulit bumi yang berlangsung secara evolusi.
Pendapat ini dilandasi argumentasi antropologi budaya, yaitu bahwa antara penduduk pedalaman dan masyarakat di pulau-pulau, memiliki adat istiadat yang hampir sama. Perkiraan lain adalah bahwa penduduk pribumi masyarakat di Halmahera dan Maluku Utara pada umumnya masih satu rumpun dengan bangsa Proto Melayu dan Netro Melayu yang sampai kini masih dapat ditelusuri jejak asal usulnya. Tapi yang jelas, Ternate dari sepanjang Halmahera, yang membentang dari utara hingga ke selatan tidak berada dalam garis perjalanan migrasi masyarakat purbakala di nusantara yang datang melewati, Cina Selatan (Tonkin), melalui Phinipina terus ke Sulawesi Utara.
MASA Pra-ISLAM
Sejarah Ternate pada masa pra-Islam masih belum dapat dijelaskan secara panjang lebar, kecuali dalam aspek adat-istiadat dan kepercayaan yang hingga kini masih dihayati oleh sebahagian masyarakat Ternate, yang dapat kita jadikan petunjuk yang meyakinkan bahwa semasa pra-Islam, Ternate telah mempunyai sejarah sendiri. Peninggalan Ternate pada zaman pra-Islam tidak ditemukan dalam bentuk tulisan maupun artevak.
Seperti yang sudah dijelaskan pada artikel-artikel sebelumnya bahwa belum agama Islam masuk, di Ternate telah terdapat 4 kelompok masyarakat, yaitu ;
1. Tubo, (yang mendiami kawasan puncak/lereng sebelah utara pTernate)
2. Tobona, (yang mendiami kawasan lereng sebelah selatan di Foramadiyahi).
3. Tabanga, (yang mendarat kawasan pantai bagian utara) dan
4. Toboleu. (yang menempati kawasan pesisir pantai timur di Ternate)
Masyarakat Ternate yang sejak dahulu sejak dari Raja pertama Kolano Cico alias Masyhur Malamo (1257) hingga Sultan yang ke-48 sekarang ini Sri Sultan Mudaffar Syah-II, telah mengalami perjalanan panjang yang merupakan mata rantai kelangsungan sebuah komunitas yang tentunya dikikis dan dipoles oleh jaman yang dilaluinya hingga saat ini Ternate menjadi pusat pemerintahan Propinsi Maluku Utara.
PERAN KESULTANAN
Setiap pembahasan mengenai sejarah daerah Maluku Utara “the history of Moluccas” pada umumnya berkisar pada sejarah kesultanan yang pernah berkuasa di daerah ini. Sejarah telah mencatat, bahwa telah lama ada, empat kesultanan yang dikenal dengan “Moloku Kiye Raha” yang terdiri dari; ”Kiye Bessi, Tuanane, Duko, se Gapi”. Kiye Bessi kemudian bergeser ke Kasiruta di Bacan, Tuanane kemudian bergeser ke Halmahera di Jailolo, Duko adalah Tidore dan Gapi adalah Ternate.
Keempat kerajaan tersebut kemudian dikenal dengan; Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan. (urutan menurut Naidah yang ditulis P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878).
Sumber-sumber asing lain-pun menyebutkan adanya keempat kesultanan tersebut, Portugis misalnya memberikan urutan yang sama, yang merupakan petunjuk bahwa, bahan sumber data dan informasi banyak diperoleh dari pihak Ternate, yang mana orang Portugis pertama kali mengadakan hubungan.
Tentu saja sumber-sumber dari luar Ternate akan memberikan urutan yang lain pula. Sebagai contoh misalnya, Francoise Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S. Keijzer, Amsterdam, 1862), memberikan urutan kesultanan Jailolo pada urutan perrtama, kemudian beralih ke pihak Ternate, Tidore dan Bacan.
Sedangkan menurut kronik kesultanan Bacan, jelaslah bahwa kesultanan Bacan menduduki tempat pertama berdasdarkan klaim bahwa Raja Bacan pertama adalah putra tertua dari Jaffar Saddik, dengan urutannya; Bacan, Jailolo, Tidore dan Ternate. Bagaimanapun urutannya, yang lebih terpenting adalah bahwa semua sumber tersebut menyebutkan nama yang sama.
Besarnya pengaruh Globalisasi serta minimnya bahan-bahan dan tulisan tentang sejarah daerah Maluku Utara, mengakibatkan generasi muda masa kini, apatis terhadap pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya daerahnya sendiri. Dan lebih disayangkan lagi adalah semakin tajamnya egoisme primordial ke-suku-an antar masing-masing etnis yang ada di Maluku Utara dalam percaturan di bidang politik praktis tingkat lokal, memberikan efek negatif terhadap pelestarian nilai sejarah, adat dan tradisi dari masing-masing kelompok etnik.

LEMBAGA KEAGAMAAN
Semua lembaga dan jabatan yang diuraikan penulis pada pembahasan di atas disebut dengan “Bobato Dunia“. Bobato dunia adalah semua lembaga dan jabatan yang berhubungan dengan urusan ke-dunia-wian, yang bersifat politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan dan sebagainya. Sedangkan lembaga atau jabatan yang mengurus masalah keagamaan disebut dengan “Bobato Akhirat“.
Dari segi spirituil dan urusan keagamaan ditangani oleh suatu lembaga yang disebut dengan Jou Lebe (Badan Syari’ah). Lembaga ini dikepalai oleh seorang yang menjabat sebagai Kadhi. Anggotanya terdiri dari para Imam, Khatib dan para staf pelaksana. Para pejabat di bidang keagamaan terdiri dari :
1. Kadhi atau Kalem yaitu pejabat tertinggi dalam urusan keagamaan (Imam Agung), membawahi 4 orang Imam Besar Kesultanan, (ditambah Imam Jawa) yang terdiri dari :
• Imam Jiko
• Imam Jawa
• Imam Sangaji
• Imam Moti
• Imam Bangsa
2. Jabatan lainnya adalah para Khatib yaitu pejabat pelaksanan dakwah dan siar Islam dibawah Imam, terdapat 6 jabatan khatib dalam struktur kesultanan. Tiap khatib membawahi beberapa orang Modim (Muazzim). Keenam orang khatib tersebut, terdiri dari :
• Khatib Jiko
• Khatib Jawa
• Khatib Sangaji
• Khatib Moti
• Khatib bangsa
• Khatib Jurutulis
Dari para Imam dan khatib, serta para JOGURU (Kiyai dalam bahasa Jawa) inilah siar dan dakwah agama Islam ditegakkan ke seluruh pesisir jazirah Maluku Utara, sehingga saat ini hampir semua pesisir pulau-pulau di kawasan Maluku Utara, Sulawesi Utara, Pantai Timur pulau Sulawesi, Seram Barat, Kailolo, Hingga kepala burung pulau Papua (Fak-Fak, raja ampat,  dsb) tersentuh akidah dan ajaran agama Islam.
Masyarakat Ternate tidak mengenal sistem “Pesantren” seperti halnya di Jawa. Cara pengajaran tradisional dengan Sistem Pesantren mulai diterapkan di Ternate pertamakali sekitar awal tahun 1980-an yakni dengan berdirinya pesantren pertama di Tidore.
Pendidikan Formal keagamaan pertamakali berdiri di Ternate pada tahun 1930-an dengan berdirinya Sekolah Madrasah Islamiyah di Ternate. Sekolah Raudatul Adab yang baru itu diasuh oleh seorang pendidik yang berasal dari pulau Ambon yang masih berdarah arab yaitu : Almarhum Syech Bachmid. Dua sekolah yang didirikan tersebut masing-masing setingkap dengan SD dan SMP. Kemudian berdiri pula Taman Pendidikan Muhammadiyah yang dipelopori oleh Bongso Hi Bahdar.

STRUKTUR KEPEMIMPINAN

Tiap kelompok masyarakat pada zaman pra-Islam di Ternate mendiami suatu tempat tinggal, yang mereka sebut dengan istilah Gam (Kampung), warganya terdiri dari beberapa keluarga/kerabat yang dalam istilah daerah disebut dengan sebutan Soa (Marga) yang dipimpin oleh seorang Fanyira, singkatan dari kata ‘Ngofa ma-nyira’. (Baca artikel terkait; Stratifikasi Sosial Masyarakat Adat di Ternate).
Selanjutnya masing-masing kepala Soa dipimpin oleh seorang Momole (Kepala Kampung) yang bergelar; Kimelaha, Fanyira dan Sangadji. Disamping sebutan untuk seorang kepala Soa untuk tiap-tiap Soa, kata momole terambil dari kata “Tomole“ yang mempunyai arti; Kesaktian atau Kehebatan, yakni orang yang menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan dan kesaktian dalam berbagai hal.
Kelompok masyarakat waktu itu masih menjalankan kepercayaan primitif, dan kadang-kadang sering terjadi pertentangan dan saling bermusuhan dalam hal memperebutkan hegemoni. Dengan demikian maka, di Ternate pada zaman pra-Islam terdapat 4 orang Momole. Seorang Momole diangkat berdasarkan kharisma yang ada padanya. Setelah masuknya agama Islam, maka sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat Momole tersebut, bergabung dan dipimpin oleh seorang Kolano. Pada masa awal sistem ini, struktur kepemimpinan masih sangat sederhana.
Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Ternate, maka berkembang pula sistem pemerintahan Kolano, seperti juga di Tidore, Bacan dan Jailolo. Ke-empat Kolano ini kemudian membentuk konfederasi persekutuan antara empat kerajaan tersebut di Taunane Pulau Moti (Moti Verbond), yang kemudian dikenal dengan sebutan persatuan “Moloku Kie Raha”. Ternate waktu itu dipimpin oleh Kolano ke-7, yang bernama Kolano Sida Arif-ma-Lamo yang dinobatkanpada tahun 1322 dan memerintah selama 9 tahun (1322-1331). Dalam sistem ini, struktur kepemimpinannya lebih disempurnakan. (F.S.A. de Clerq).
Pada perkembangannya selanjutnya , sejak tahun 1486, disaat penobatan Kolano ke-19, Zainal Abidin, yang pertama kali memakai gelar “SULTAN” yang memerintah dari tahun 1486 – 1500, adalah merupakan masa peralihan dari bentuk Kolano ke bentuk Kesultanan. Beliau diberi gelar ; Paduka Sri Sultan Zainal Abidin.
Dalam struktur kepemimpinan kesultanan, dibentuk lembaga-lembaga tradisional. Pelaksanaan tugasnya, Sultan dibantu oleh badan-badan dan pejabat seperti :
1. KOMISI NGARUHA, (fungsinya disamakan dengan Dewan Pertimbangan Agung).
2. BOBATO MA-DOPOLO, yaitu suatu Dewan Pembantu Sultan, anggotanya terdiri :
a. Jogugu, sebagai wakil Sultan merangkap kepala Bobato. Jogugu adalah singkatan dari ‘Jou Kolano ma-gugu’ yaitu wakil Sultan bidang Pemerintahan , yang berkuasa dan bertanggung jawab atas seluruh kebijakan kesultanan tertinggi dibawah Sultan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat keluarga terdekat Sultan. (disamakan dengan Perdana Menteri).
b. Kapita Lao, yang bertanggung jawab dalam masalah yang bertalian dengan peperangan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat Sultan. (disamakan dengan Panglima Armada Laut).
c. Hukum Soa Sio, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani hal-hal yang berhubungan dengan urusan di dalam negeri. (disamakan dengan Menteri Dalam Negeri).
d. Hukum Sangadji, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani masalah-masalah luar negeri termasuk daerah takluk-kan. (disamakan dengan Menteri Luar Negeri).
e. Tuli Lamo, sebagai juru tulis kesultanan, (disamakan dengan Menteri Sekretaris Negara).

3. BOBATO NYAGI MOI SE-TUFKANGE, yaitu Dewan 18 yang anggotanya terdiri dari delapan belas Orang. Mereka terdiri dari :
a. Berasal dari Soa-Sio sebanyak 9 orang, yaitu :
1) Pejabat berpangkat Kimelaha, sebanyak 5 orang.
2) Pejabat berpangkat Fanyira, sebanyak 4 orang.
b. Berasal dari Pejabat berpangkat Sangaji, sebanyak 9 orang, yang merupakan wakil utusan dari wilayah seberang.

Dalam struktur kepemimpinan tradisional di kesultanan Ternate, terdapat semacam Dewan Rakyat, yang disebut dengan GAM RAHA, yang wakilnya terdiri dari pejabat perwakilan keempat wilayah yang terdiri dari :
1. SOA-SIO, (Komunitas masyarakat yang terdiri dari 9 kelompok Soa/distrik yang berada di di wilayah pusat Kesultanan).
2. SANGADJI, (Komunitas beberapa distrik di negeri seberang/wilayah taklukkan).
3. HEKU, (Komunitas masyarakat Ternate yang wilayahnya mulai dari Ake Santosa (sekarang Kelurahan Salero) ke utara hingga ke pulau Hiri termasuk Halmahera muka).
4. CIM, (Komunitas masyarakat dari Ake Santosa ke salatan hingga mencapai batas desa Kalumata).
Gam Raha berfungsi mensahkan calon sultan yang menurut tradisi ditunjuk atau dipilih untuk dijadikan calon adalah dari anak-anak lelaki putera sultan, (bukan putra tertua saja tapi bisa adik-laki2-nya). Jika dalam garis pertama ini tidak ditemukan, maka bisa bergeser ke anak2 dari kakak sultan atau anak2 dari adik sultan (ponakan), bahkan bisa saja langsung lompat ke cucu sultan (sesuai catatan sejarah silsilah para raja2 di Ternate).  Meskipun telah ditetapkan adat, calon Sultan itu harus disahkan oleh Gam Raha. Calon diajukan oleh pihak Soa-Sio dan Sangaji, selanjutnya apabila calon tersebut ditolak oleh pihak Heku dan Cim, maka harus diganti. Penobatan soerang Sultan (pemasangan mahkota pertama kali) dilakukan oleh pejabat Kimalaha Marsaoly. Sistem ini merupakan keunikan dan cirri khas “Demokrasi” ala Ternate, dimana sistem pemerintahan adalah berbentuk Monarki tetapi pewaris kekuasaan dilakukan melalui pemilihan/penunjukan dari “Gam Raha” berdasarkan kriteria tertentu. Tidak seperti biasanya setiap kerajaan, putera tertua dari Raja dan Permaisuri mutlak harus menjadi pewaris takhta.
Pemahaman dan anggapan orang Ternate terhadap sultannya adalah seorang “Kolano” dalam arti khusus. Kolano adalah seorang “Khalifahtur rasyhid wa tubaddir Rasul”, dengan sapaan Syailillah yang menurut mereka adalah figur bukan sembarang orang karena dalam diri seorang Kolano terdapat “nur-Muhammad” yang ditadzali ke dalam jasad/tubuh seorang yang dipilihNYA yang dalam hal ini seorang sultan yang masyarakat menyapanya dengan “Jou Kolano” atau “Jo-Ou“.
Pejabat penting lainnya yang dalam kepemimpinan wilayah adalah seorang Salahakan. Pejabat ini adalah merupakan perwakilan Sultan di daerah-daerah otonomi yang jauh. Dalam sejarah Ternate, pernah diangkat Salahakan di Tabukan (Sangir Talaud), Banggai (Sulawesi), Sula Taliabu. Selain Salahakan dikenal juga Utusan Sultan yang dikirim ke perbatasan untuk menangani soal keamanan. Ia juga bertugas sebagai koordinator para sangaji di daerah itu.
Diketahui pernah ada tiga utusan yang pernah ditetapkan dalam kesultanan Ternate, yaitu; Utusan Kayoa yang berbatasan dengan kesultanan Bacan, Utusan Galela untuk mengamankan perbatasan dengan kesultanan Mindanao-Sulu, Utusan Dodinga untuk mengawasi perbatasan wilayah darat dengan kesultanan Tidore di daratan pulau Halmahera.

SEJARAH PEMERINTAHAN

Dalam sejarah kepemimpinan/pemerintahan di Ternate, selain dipimpin oleh para Kolano/Sultan sebanyak 48 orang Raja Ternate, masyarakat Ternate pernah diperintah oleh pejabat penguasa asing yang berkedudukan di Ternate, tercatat sebanyak 20 orang pejabat Gubernur Portugis (1512-1574), 7 orang pejabat sebagai Residen perwakilan Inggris di Ternate (1797-1815), 53 orang pejabat Gubernur VOC untuk wilayah Maluku yang berkedudukan di Ternate, dan lebih dari 28 orang pejabat Residen Pemerintah Kerajaan Belanda yang juga berkedudukan di Ternate. (Sumber; F.S.A. de Clerq).
Kronologis Pemimpin Pemerintahan di Ternate selama 7 Abad lebih diuraikan pada artikel sesudah ini.

Perjalanan panjang sejarah masyarakat Ternate yang hingga kini telah berusia 758 tahun melalui dinamika dengan begitu banyaknya proses asimilasi budaya dan campur tangan kekuasaan dari luar terutama bangsa Eropa selain para Sultannya mengakibatkan kebudayan masyarakat Ternate memiliki ciri khasnya tersendiri.
Kedatangan orang Eropa ke berbagai tempat di belahan bumi ini membawa tiga Misi utamanya, yaitu ; “Gold”, “Gospel” dan “Glory”. Warisan yang paling nyata hingga saat ini adalah pada kawasan tertentu di Maluku Utara masih terdapat pemeluk agama Nasarani sebagai bukti adanya Gospel yang didengungkan bangsa Eropa waktu itu, sedangkan kehadiran Islam di daerah ini juga sebagai akibat adanya hubungan dengan para pedagang dari bangsa Arab dan Persia maupun dari Gujarat.
Dinamika yang dialami masyarakat Ternate hingga generasi sekarang melalui proses yang panjang. Para pendahulu di daerah ini telah meletakan dasar, baik itu menyangkut keyakinan beragama, maupun sendi-sendi moral dan etika serta perilaku yang tercermin dalam adat-istiadat, tradisi dan budaya yakni tersirat dalam institusi dan pranata sosial di masyarakat Ternate. Sebagai generasi saat ini, wajarlah kalau memiliki minat dan keinginan di bidang kajian sejarah, karena lebih banyak manfaat yang didapat daripada tidak mengetahuinya sama sekali. (Baca artikel tentang kajian dimaksud pada posting sebelumnya; Sejarah Tidak Pernah Berdusta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar